Meninjau Raperda Pedoman Pendanaan Pendidikan DIY
Pendidikan Perlu Ditanggung Bersama
Mutu pendidikan adalah tanggung jawab kolektif, termasuk dalam pendanaannya. Dana pendidikan dapat bersumber dari anggaran pemerintah, bantuan pemda, dan partisipasi masyarakat yang dapat berupa pungutan.
Demikian benang merah Diskusi dan Studi Kebijakan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tentang Pedoman Pendanaan Pendidikan DIY 2023, yang diselenggarakan di Auditorium Driyarkara, Universitas Sanata Dharma (USD), Selasa, 4 April 2023. Diskusi dengan tajuk “Educational Institutional Economics: Logical Fallacy of Education Financing in Yogyakarta?”, yang diprakarsai oleh PT Trisakti Pilar Persada dalam kerjasama dengan Program Studi Ekonomi Fakultas Ekonomi USD dan Harian Kedaulatan Rakyat ini menghadirkan sejumlah pembicara dari kalangan pengambil kebijakan, peneliti ekonomi, dan pengamat pendidikan.
Mutu Bergantung Dana
Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Mutu Pendidikan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dikpora) DIY, R. Suci Rohmadi, mengungkapkan bahwa pendanaan pendidikan sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
“Apabila pendanaan pendidikan rendah atau sedikit maka akan mempengaruhi kemajuan lembaga. Pendanaan yang rendah akan banyak menimbulkan hal yang mengganggu, seperti kurangnya tenaga pendidikan, lemahnya profesionalisme, turunnya proses kegiatan pembelajaran, dan kurangnya literasi terhadap pihak luar kurang,“ jelas Rohmadi.
Pendanaan pendidikan menjadi persoalan, lanjut Rohmadi, terutama terkait sejumlah hal. Pertama, masih terbatasnya besaran dana APBD yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk sekolah, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Bantuan tersebut masih belum mencukupi untuk menghadirkan layanan pendidikan yang berkualitas, seperti pada sekolah menengah negeri dan swasta yang peminatnya masih kurang.
Kedua, seturut regulasi, terdapat beberapa bentuk partisipasi masyarakat untuk pendanaan pendidikan, yaitu pemungutan pendidikan, sumbangan pendidikan, dan bantuan pendidikan. Ketiga, sebutan “pemungutan” menimbulkan kesan yang negatif, hingga dianggap seperti pungli (pungutan liar). Padahal, pungutan pendidikan sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2008. Pasal 52 PP tersebut mengatur ketentuan yang harus dipenuhi sebelum pungutan pendidikan dijalankan.
Keempat, terdapat ekspektasi dari masyarakat bahwa pendidikan gratis artinya bebas biaya, dan semua biaya pendidikan hanya ditanggungkan kepada pemerintah saja. Namun, yang sebenarnya, peran dari masyarakat juga sangat dibutuhkan. Apabila peserta didik secara ekonomi tidak mampu maka tidak diwajibkan, dan kebijakan pemungutan pendidikan dapat tidak dilaksanakan apabila pemerintah daerah mampu untuk mencukupi seluruh kebutuhan biaya pendidikan.
Sementara itu, Wakil Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) DIY dan Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB-UGM), Amirullah Setya Hardi, S.E., Cand.Oecon.Ph.D. menunjukkan bahwa pendanaan pendidikan sambung dengan aneka komponen pendidikan, yaitu peserta didik sebagai komponen utama, pendidik, bahan ajar dan sarana prasarana, yang membentuk sistem pendidikan. Semakin bagus kualitas pendidikan dalam rangka tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa maka semakin besar dana yang dibutuhkan.
“Keseluruhan komponen pendidikan saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dan itu semua membutuhkan dana,” papar Hardi.
Perlunya Kontribusi Warga yang Mampu
Direktur Utama PT Trisakti Pilar Persada, Dr. Antonius Budisusila, S.E., M.Soc.Sc. menekankan bahwa kontribusi dari warga untuk pendanaan pendidikan memang dibutuhkan karena aktivitas dalam proses pendidikan bermacam-macam dan itu perlu biaya, tetapi pemungutan pendidikan seringkali mendatangkan masalah. Sebab, tidak semua warga memiliki kemampuan finansial yang setara.
“Masyarakat mengeluhkan penggalangan dana pendidikan sebagai sumbangan berbau pemungutan. Dengan menggunakan cara pemungutan, hal ini akan berdampak pada masyarakat yang memiliki kesulitan dalam ekonomi. Pungutan pendidikan semestinya berasal dari peserta didik atau orangtua wali murid yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup dan bantuan dari pihak-pihak eksternal sekolah,” tegas Budisusila.
Dari segi kultural, terdapat tantangan-tantangan yang menghambat partisipasi warga masyarakat dalam pendanaan pendidikan. Padahal, partisipasi warga itu kenyataannya dibutuhkan. Hal ini disampaikan Staf Pengajar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) USD, Markus Budiraharjo, S.Pd., M.Ed., Ed.D.
“Tantangan pada area mindset terhadap kecukupan pendanaan pendidikan muncul karena adanya salah pikir bahwa pendidikan di Indonesia gratis,“ terang Budiraharjo.
Sementara itu, Asisten Muda Bidang Pencegahan Maladministrasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY, Muhammad Rifki, mengungkapkan bahwa dasar regulasi terkait pendanaan pendidikan sebenarnya cukup lengkap, termasuk yang terkait dengan pemungutan. Pemungutan pendidikan di tingkat menengah tidak ada larangan dan tidak ada anjuran kepada siapapun untuk melakukan pemungutan.
Adapun mantan Anggota Dewan Pendidikan Kota Yogyakarta dan Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Atmajaya Yogyakarta (FEB-UAJY), Y. Sri Susilo, S.E., M.Si. mengungkapkan bahwa bentuk partisipasi warga dalam pendanaan pendidikan sangat bermanfaat jika dilihat dari sisi pemutusan rantai kemiskinan.
“Dilihat dari sisi pemerataan dan keadilan, pembebasan pungutan bagi yang berkemampuan ekonomi kurang dan penerapan pungutan bagi yang mampu manfaatnya akan kembali berujung pada kepentingan semua siswa,” kata Susilo.
Keseluruhan komponen pendidikan saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dan itu semua membutuhkan dana. Oleh karena itu, partisipasi aktif dari semua pihak, termasuk masyarakat, sangat diperlukan dalam meningkatkan pendanaan pendidikan dan kualitas pendidikan di Indonesia.
Penulis: Tim Jurnalistik TPP